Penulis: Nikodemus Bili
Wakil Pimred
Budaya pada dasarnya mencerminkan identitas dari setiap daerah, identitas ini menggambarkan ragam budaya di Indonesia baik dari segi bentuk, upacara, etnik, dan tata cara yang menyelimuti segala aktifitas budaya itu sendiri.
Kita Indonesia memiliki potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Setiap daerah memiliki beragam suku, bahasa, budaya, lagu daerah, tarian daerah, jenis olahan pangan lokal, pakaian tradisional atau pakaian adat , dan budaya keramah tamahannya. Contohnya kita di sumba, dari 4 kabupaten. Di Sumba Barat saja, Kodi, Loura, Wewewa, Loli saja memiliki banyak ragam Budaya yang berbeda.
Akan tetapi, mungkin karena perkembangan arus informasi dan pesatnya perkembangan teknologi, Generasi muda dewasa ini kelihatan jauh dari budayanya, yang menyebabkan pudarnya esensi-esensi adat Kita sendiri. Hal inilah yang mengganggu pikiran saya.
Jika diperhatikan, Orang muda seolah hanyut dengan euforia trend masa kini dan agak malu mempelajari budaya daerah atau bahkan mendalami adat, budaya daerahnya bahkan sampai pada hal yang sangat sederhana yang sering kita saksikan setiap harinya, yakni dalam hal berpakaian adat, begitu banyak orang muda yang tidak bisa melakukannya.
Bagi kita mungkin saja adalah hal yang biasa, tapi bagi mereka yang menghargai budaya tentu saja ini terasa lucu. Saya bahkan tidak mampu bayangkan apa yang akan dikatakan orang luar daerah pada kita saat kita banyak tidak tahu tentang budaya kita sendiri.
Yah…. Sudah modern, orang muda juga sudah elite. Apa patut dibanggakan?
Lebih lanjut, masalah generasi muda yang kurang menghargai budaya sendiri, yang mana lebih kearah masyarakat yang lebih suka dengan budaya luar, orang muda saat ini selain kurang meminati budaya yang ada justru malah menumbuhkan budaya baru yakni budaya Alai. Kenapa saya katakan sebagai budaya alai, karna anak muda saat ini terlalu kreatif untuk memunculkan budaya alai ini, mulai dari tulisan seperti apa (4p4), lagi apa (l49! Ap4). Selain tulisan model kosa kata pun mulai banyak menyebar pada generasi muda yang berbudaya alai ini seperti Repot diganti Rempong, mau tau diganti Kepo, berlebihan diganti lebai dan masalahnya kata-kata tersebut jadi lazim dikalangan masyarakat yang kata kata tersebut tidak pernah ada dalam kamus besar bahasa Indonesia.
Jadi, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan pandangan saya pada kehidupan
“orang muda yang berbudaya tapi tidak lagi berbudaya”.
Mungkin kita sudah lupa untuk bertanya kembali, bertanya pada diri kita “ siapakah kita sebenarnya?”. Sehingga saya jadi bertanya sendiri, “relakah kita disebut orang yang tak berbudaya?”. Khususnya orang muda sumba yang dikenal dunia karena Budaya Marapunya . Lalu kita orang muda ini, apakah orang muda yang masih berbudaya Marapu? Sesuai dngan potret Budaya kita? Atau “tahukah kita arti dari marapu?”
Mungkin dan maaf saya harus katakan bahwa kita orang muda sumba, seperti yang saya sampaikan di awal pidato saya kita orang muda sudah mulai kehilangan jati diri. Kita yang nenek moyangnya dikenal dunia sebagai marapu, “yang dipertuan”, “yang dimuliakan”. Tidak lagi menghargai esensi, nilai dari budaya kita, kita generasi muda telah kehilangan nilai nasionalisme. Karena sekalipun ada, hanyalah nasionalisme buta tanpa memahami lagi arti kita sebagai orang sumba yang disebut marapu.
Berbicara tentang hal ini, saya pada kesempatan ini bisa mengatakan bahwa kebanyakan orang muda khususnya sumba mulai acuh tak acuh dengan budayanya. Rasa memiliki, dan mencintai budaya sendiri tidak lagi tertanam seperti telah pudar dan telah hilang. Saya sering perhatikan beberapa hal kecil di sekitar saya. Tidak ada pesta tanpa kartu, tidak ada pesta tanpa dadu, dan yang paling payah tidak ada pesta tanpa mabuk-mabukan, tidak peduli itu adalah kedukaan, atau acara adat yang sacral, apalagi acara diluar itu? Dan setelahnya selalu saja terjadi perkelahian. Ada yang tahu siapa pelakunya? Yah…. Orang muda. Banyak dan sering kali pemicunya adalah orang muda.
Jika situasinya seperti ini, sudah tentu Kita secara tidak sadar telah menyimpang dan mengikis rasa nasionalisme kita terhadap budaya sendiri. Penyimpangan yang membuat gaya prilaku dan penampilan yang kita orang muda sekarang ini dengan perlahan sepertinya tidak lagi memiliki sopan santun dan etika, mengikis dan memuramkan sendiri jati diri kita sebagai “yang dipertuan”, “yang dimuliakan”.
Suatu hal yang sederhana, Kita bisa lirik dan mengingat beberapa moment dalam kegiatan paroki kita. Dalam beberapa kegiatan ziarah, umat diminta untuk berpakaian sesuai budaya kita. Tapi yang terjadi tidak semua dan hampir sebagian besar tidak mengikuti saran dan petunjuk ini. Tidak perlu malu, mereka kebanyakan adalah orang muda. Masih mending jika sebagai wanita kita memakai rok, yang terjadi malah lebih memilih celana, jeans pula. Atau sebagai Pria, juga demikian? Cobalah dalam beberapa kesempatan kita perhatikan dengan seksama, Bapak/Ibu yang berpakaian Adat, Bukankan mereka tampak begitu gagah dan penuh pesona, anggun serta sangat berwibawa?.
Pertanyaannya, kita tidak menggunakannya karena tidak punya? Ataukah karena kita malu? Jika karena malu, tidak salah lagi kita sudah menanggalkan martabat, menanggalkan jati diri kita sebagai orang sumba. Orang muda yang berbudaya tapi tidak lagi berbudaya. Orang muda Marapu, orang muda “yang dipertuankan”, “yang dimuliakan”. Dan akhirnya semuanya akan hilang oleh karena membuat gaya prilaku dan penampilan kita yang tidak lagi memiliki sopan santun dan etika. Apakah Kita mau suatu saat, entah Besok atau di masa yang akan datang semuanya hilang dan tinggal sejarah? Semoga kita berubah………..