Kepala Desa di Purworejo Tolak Wacana Pembentukan Kopdes Merah Putih

Pasolapos.com – Purworejo || Wacana pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih mendapat penolakan keras dari para kepala desa (Kades) di Kabupaten Purworejo. Hampir seluruh Kades menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana tersebut, bahkan beberapa di antaranya mengusulkan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes.

Fatah Kusumo Handogo alias Atah, Kades Kebon Gunung, Kecamatan Loano, secara tegas menolak gagasan ini. Menurutnya, kebijakan yang menyangkut desa seharusnya disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang sudah ada.

“Aturan ini benar-benar tumpang tindih. BUMDes masih dalam tahap perintisan dan belum berjalan optimal, tapi tiba-tiba ada rencana pembentukan koperasi. Ini jelas tidak masuk akal,” ujar Atah saat dikonfirmasi pada Jumat (07/03/2025).

Senada dengan Atah, Dwinanto, Kades Krandegan, Kecamatan Bayan, juga menyampaikan sejumlah alasan mengapa wacana ini ditolak oleh mayoritas Kades.

“Saya melihat hampir semua grup perangkat desa, baik lokal maupun nasional, mayoritas menolak kebijakan ini. Alasannya jelas, saat ini sudah memasuki pertengahan tahun, dan APBDes sudah disusun. Selain itu, pada Januari 2025, Menteri Desa mengeluarkan kebijakan bahwa 20% Dana Desa (DD) dialokasikan untuk ketahanan pangan melalui BUMDes. Sampai saat ini, kami masih menunggu petunjuk teknisnya, tapi tiba-tiba muncul wacana baru terkait Kopdes Merah Putih,” jelas Dwinanto.

Menurutnya, ketidaksesuaian dengan regulasi teknis menjadi salah satu alasan utama penolakan. UU Desa secara jelas mengamanatkan pembentukan BUMDes, bukan koperasi. Ia juga membandingkan Kopdes dengan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu yang memiliki konsep serupa.

“Seluruh desa sedang fokus membangun dan mengembangkan BUMDes, namun tiba-tiba muncul kebijakan baru yang membelokkan arah pembangunan desa,” lanjutnya.

Para Kades juga menilai bahwa pemerintah pusat terkesan tidak melibatkan mereka dalam perumusan kebijakan yang berdampak langsung terhadap desa. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang diatur dalam UU Desa, di mana setiap desa memiliki kewenangan untuk menentukan program dan visi pembangunannya sendiri.

Dwinanto juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap besarnya biaya pendirian koperasi yang mencapai Rp3 miliar hingga Rp5 miliar. Anggaran sebesar itu dapat menyedot seluruh DD hingga lima tahun ke depan, sedangkan mayoritas desa memiliki DD yang tidak mencapai Rp1 miliar per tahun.

Selain itu, ia menilai bahwa kebijakan ini mengarah pada pengalihan fokus anggaran desa semata-mata untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG), sehingga program lain, termasuk pengelolaan DD, akan terdampak dan berpotensi dikebiri.

Di sisi lain, Kepala DP3APMD Kabupaten Purworejo, Laksana Sakti, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima petunjuk resmi terkait wacana Kopdes Merah Putih. Hingga saat ini, pembahasan masih berlangsung di tingkat pusat.

“Saya baru mengetahui wacana ini dari media massa. Tidak hanya di Purworejo, desa-desa lain di Indonesia saat ini masih berfokus pada pembentukan dan pengelolaan BUMDes. Kita berharap ada solusi terbaik,” ujar Laksana Sakti.

Ia menambahkan bahwa kebijakan yang saat ini masih dipegang adalah Permendes terkait penggunaan Dana Desa tahun 2025. Alokasi dana tersebut terdiri dari maksimal 15% untuk BLT DD, 20% untuk ketahanan pangan, 3% untuk operasional pemerintahan desa, dan sisanya digunakan sesuai dengan kewenangan desa yang menjadi prioritas dalam Musrenbangdes.

Dengan banyaknya penolakan dari para Kades, masih menjadi tanda tanya apakah pemerintah pusat akan tetap melanjutkan wacana pembentukan Kopdes Merah Putih atau melakukan penyesuaian berdasarkan aspirasi dari desa-desa di seluruh Indonesia.

Tinggalkan Balasan