Figur  

BERHASILKAH COP26 MENCARI SOLUSI ATAS MASALAH PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM?

Pasolapos.com-Pertemuan para pemimpin dunia yang secara khusus membahas masalah pemanasan Global dan perubahan iklim di Glasgow, Scotlandia yang lazim dikenal dengan nama COP26 baru saja berakhir.

 

Meriana Ina Kii S.pd,M.Si

Konferensi ekologi tingkat internasional yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai kesempatan terakhir menyelamatkan dunia dari kehancuran alam ini dimulai pada tanggal 1 November 2021 sampai tanggal 12 November 2021, dihadiri oleh tidak kurang dari 25.000 orang termasuk pimpinan atau perwakilan dari 190 negara termasuk Indonesia.

Konferensi ini diakhiri dengan kesepakatan-kesepakatan yang diambil sebagai langkah bersama mengatasi krisis lingkungan hidup sebagai upaya bersama menyelamatkan bumi. Tiga point utama dari kesepakatan-kesepakatan itu yaitu:
1) .membahas lagi agenda pengurangan emisi sampai 1,50C tahun depan,
2). pengurangan penggunaan bahan bakar batubara menuju penghapusan total di tahun 2050, dan
3). mewujudnyatakan dan meningkatkan bantuan finansial bagi negara berkembang yang terdampak.

Apakah COP26 dengan tiga point utama ini berhasil menemukan jawaban atas masalah ekologi global? Dari sudut pandang klimatologi saya berpendapat sebaliknya. COP26 gagal mencari jalan keluar atas masalah lingkungan global. Mari kita kaji satu persatu point-point kesepakatan COP26
COP26 memutuskan untuk membahas lagi pengurangan emisi sampai 1,50C tahun depan.

Kesepakatan untuk menurunkan pemanasan global sampai angka 1,50C (suhu bumi di masa pre-industrial) itu sudah dibuat di pertemuan yang sama tahun 2015 di Le Bourget, Perancis (COP21). Itu artinya salah satu agenda COP26 di Glasgow adalah untuk mengevaluasi apakah keputusan konferensi sebelumnya sudah dijalankan dengan berhasil.

Hasil evaluasinya jelas, kesepakatan enam tahun lalu itu belum berhasil dijalankan oleh semua negara yang menyetujui kesepakatan itu. Suhu bumi ditahun 2021 diramalkan menuju 2,70C, sebuah angka yang sangat mencemaskan. Maka COP26 seharusnya menegaskan lagi dan bahkan melihat agenda ini menjadi urgensi untuk memaksa pemimpin dunia terlebih negara-negara maju untuk serius menurunkan laju emisi sampai 1,50C.

Kenyataannya ali-ali mencapai kata sepakat untuk mengurangi emisi sampai di angka yang diharapkan, COP26 menunda pembahasan penekanan laju emisi ini ke pertemuan tahun depan dan membangun komitmen untuk menurunkan suhu bumi sampai di suhu 2,40C derajat.

Kenyataan ini dari sudut pandang klimatologi bisa dilihat sebagai ambang kehancuran ekologis. Mengapa demikian?
Ketika suhu bumi berkisar 1,50C, presentasi penduduk bumi yang terkena gelombang panas ekstrim (seperti yang sering dialami di India dan negara-negara timur tengah) adalah 14%. Angka ini akan meningkat dua kali lipat, yaitu 37% bila suhu bumi naik sampai 20C. Itu artinya semakin banyak wilayah yang terdampak gelombang panas.

Kenaikan suhu bumi berdampak juga pada keringnya sumber air. Ketika suhu bumi 1,50C, jumlah penduduk yang mengalami kekeringan sumber air kira-kira 350 juta orang, ini angka yang melebihi jumlah penduduk Indonesia seluruhnya. Tetapi kalau suhu bumi naik sampai 20C, jumlah jiwa yang menderita karena keringnya sumber air mencapai 411 juta orang. Ini baru dampak yang dialami manusia. Suhu bumi di angka 20C akan berdampak pada musnanya 18% binatang dan 16% tumbuhan.
Maka masuk akal kalau Sekretaris Jendral UN, Antonio Gutteres mengatakan “it is time to go into emergency mode”. Kita perlu melihat kondisi ini sebagai kondisi gawat darurat.
Untuk pertama kali dalam sejarah disepakati untuk mengurangi penggunaan bakar batubara.
Menurut menteri lingkungan hidup (environment minister) Swiss, Simonetta Sommaruga, ini juga adalah contoh kegagalan konferensi karena mereka tidak menggunakan kata melarang tetapi malah mengurangi. Memang dalam diskusi, negara berkembang seperti India yang menempati urutan kedua sebagai negara pengguna bahan bakar batubara terbesar setelah China, menolak point ini.
Mengapa dampak penggunaan bahan bakar batubara terhadap emisi karbon menjadi sorotan?
Begitu bahan bakar fosil (batubara) dibakar untuk menghasilkan energi, maka karbon dalam bahan bakar bereaksi dengan oksigen untuk membentuk gas karbon dioksida (CO2). Sebagian besar gas ini dilepaskan ke atmosfer.

Pembakaran batubara (yang terdiri dari karbon ‘bebas’) menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas (yang sebagian besar terdiri dari metana dengan senyawa karbon, CH4), batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Menurut Statistical Review of World Energy yang diterbitkan pada tanggal 9 Juni 2010, tahun 2009 merupakan tahun pertama sejak tahun 2002 batubara menjadi bahan bakar yang tumbuh paling pesat di dunia. Hal itu sejalan dengan laporan International Energy Agency (IEA) baru-baru ini yang memperkirakan konsumsi batu bara global meningkat sebesar 2,6 persen pada 2021, didorong oleh sejumlah negara seperti China, India, dan Asia Tenggara.

Penambangan batubara dan pembakaran batubara untuk pembangkit energi, pembuatan semen dan produksi baja merupakan mesin utama pemanasan global. Hal ini memicu batubara menjadi penyumbang emisi CO2 mencapai 40% dan diperkirakan akan meningkat.

Kesepakatan kedua ini akan berdampak langsung pada bidang ekspor di Indonesia karena sejak hubungan antara China dan Australia memanas, China yang adalah negara nomor satu pengguna bahan bakar batubara mengimpor batubara dari Indonesia. Selain itu, batubara di Indonesia juga digunakan sebagai sumber energi pembakit listrik karena murah dan muda didapatkan. Pembangkit listrik berbasis batu bara PLN di Indonesia masih menjadi yang terbesar atau mencapai 66,81 %. Tren penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi masih tinggi seiring harga produksi listrik yang menggunakan komoditas ini masih terjangkau dan murah, belum lagi pada penggunaan industri semen, baja dan lain-lain. Pemanfaatan batu bara membuktikan ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil belum tergantikan.t
Dari kenyataan ini, kelihatan keputusan pengurangan penggunaan bahan bakar batubara tidak menguntungkan negara berkembang yang masih mengandalkan batubara sebagai bahan bakar seperti India, Indonesia, juga Afrika Selatan sementara penggunaan bahan bakar yang lain oleh negara maju tidak diusik secara serius.
Meningkatkan bantuan finansial bagi negara berkembang yang terdampak.
Poin ini mengandung pesan kapitalis yang sangat kuat.

Tersembunyi di balik poin ini dan poin-poin sebelumnya adalah kecongkakan negara maju yang berpikir segala masalah bisa diselesaikan dengan uang. Selain itu solusi ini menurut saya lebih kepada solusi yang “menyembuhkan” bukan yang “mencegah”, atau istilanya damaged based sollution bukan action based sollution untuk mencegah terjadinya bencana.

Bantuan finiansial yang dijanjikan oleh negara maju untuk negara berkembang seharusnya lebih difokuskan pada penggantian sumber energi fosil menjadi energi terbarukan.

Diharapkan bantuan finansial tersebut dapat terfokus pada pengembangan dan penggunaan teknologi energi terbarukan sehingga ketergantungan penggunaan energi fosil (batubara) dapat terganti.
Selain itu, kenyataan membuktikan bahwa janji tunjangan dana dari negara berkembang sejak COP21 di Perancis hanyalah sekedar lip service. Di COP21, negara berkembang sepakat untuk memberikan dana sebesar 100 milliar dollar Amerika untuk membantu negara berkembang yang terdampak perubahan iklim. Enam tahun kemudian, sampai pada COP26 dilaksanakan janji itu belum dipenuhi. Itulah alasannya wakil menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, menggunakan istilah show me the money sebagai bentuk tuntutannya kepada negara maju untuk memenuhi janji-janji mereka.

Sampai pada titik ini jelas bahwa COP26 masih jauh dari harapan untuk mencapai kata sepakat di taraf internasional untuk menyelamatkan bumi, rumah kita tercinta. COP26 dan juga konferensi-konferensi sebelumnya masih sarat unsur kapitalis yang mengorbankan negara-negara berkembang. Kita sedang bergerak menuju kehancuran ekologis yang parah .Sayangnya kita masih belum sadar bahwa kita sedang bergerak menuju ke sana.

Red (pasolapos.com).

Tinggalkan Balasan