Figur  

Sumba, Surga yang Terlupa: Seruan Moral dari Pater Robert Ra Mone dan Bupati Paulus S. K. Limu

TAMBOLAKA – PASOLAPOS.COM – Pulau Sumba, yang dikenal luas sebagai salah satu destinasi wisata terindah di dunia, ternyata menyimpan kenyataan yang kontras dengan gemerlap promosi pariwisata. Di balik panorama alam yang memukau dan budaya yang eksotis, masyarakat Sumba masih harus bergelut dengan persoalan serius seperti kemiskinan, stunting, dan keterbatasan infrastruktur dasar.

Dalam acara syukuran 40 tahun hidup membiara dan peresmian Kapela Rumah Budaya, Pater Robert Ra Mone menyampaikan refleksi mendalam mengenai tanah kelahirannya. Ia menyebut Sumba sebagai salah satu dari 33 pulau terindah di dunia, bahkan menempati peringkat pertama destinasi wisata paling top tahun ini. Namun, di balik kebanggaan tersebut, ia membuka mata para hadirin terhadap realita yang menyayat hati.

“Keindahan pulau kami tidak berbanding lurus dengan kehidupan masyarakatnya. Kemiskinan dan stunting ada di mana-mana,”
– ungkap Pater Robert di hadapan para tamu undangan dari Jakarta, pemerintah daerah, serta tokoh masyarakat Sumba.

Ia mencontohkan kondisi kampung halamannya di Kodi, yang hingga kini belum teraliri listrik.

“Saya tumbuh dan besar di lingkungan tanpa listrik. Sampai hari ini, itu masih kenyataan. Sumba yang indah itu, menyimpan banyak ketimpangan,”
– ujarnya tegas.

Potret ketimpangan sosial juga terlihat di kawasan wisata Danau Weekuri, di mana anak-anak usia sekolah menawarkan jasa potret kepada wisatawan demi mendapatkan uang. Seharusnya, anak-anak itu berada di bangku sekolah untuk menimba ilmu, bukan berkeliaran di objek wisata sebagai pencari nafkah.

“Lalu siapa yang peduli? Siapa yang mengarahkan mereka bahwa bukan begini caranya? Ini pernyataan penting untuk kita semua,”
– ucap Pater Robert, yang tampak emosional menyampaikan kegelisahannya.

Ia menekankan bahwa pewartaan Injil yang berakar pada budaya lokal sangat penting untuk menyentuh akar persoalan kehidupan masyarakat. Karena itu, Rumah Budaya yang diresmikan hari itu bukan hanya sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno, melainkan simbol pelestarian harga diri, nilai-nilai, dan jati diri manusia Sumba yang bermartabat.

Dalam momen yang sama, Bupati Sumba Tengah, Paulus S. K. Limu, menyampaikan pandangannya tentang tantangan besar yang dihadapi masyarakat Sumba. Menurutnya, hambatan terbesar bukanlah kekurangan sumber daya alam, melainkan lemahnya kualitas sumber daya manusia.

“Alam Sumba lebih hebat dari Flores, tapi kenapa kita tertinggal? Karena SDM-nya. Kalau mau Sumba bangkit, jangan hanya bangun rumah budaya. Bangun juga pendidikan, bangun manusia Sumba,”
– ujar Paulus penuh semangat.

Ia mengapresiasi langkah-langkah konkret yang dilakukan para tokoh agama, masyarakat sipil, dan mitra swasta yang peduli terhadap pembangunan manusia di Sumba. Salah satu inisiatif tersebut adalah kerja sama dengan pengusaha Katolik dari Jakarta untuk menangani masalah stunting — tanpa mengandalkan APBD, tetapi dengan semangat gotong royong dan solidaritas.

“Satu minggu kami bergerak, tanpa anggaran, tapi lewat hati, sudah terkumpul lebih dari Rp3 miliar. Mungkin bulan depan tembus Rp5 miliar. Itu kekuatan solidaritas,”
— ungkap Paulus yang disambut tepuk tangan hadirin.

Acara syukuran ini menjadi lebih dari sekadar perayaan pribadi. Ia menjadi panggung moral, tempat semua pihak — pemerintah, gereja, masyarakat adat, dan komunitas luar — dipanggil untuk tidak hanya mengagumi keindahan Pulau Sumba, tetapi juga ikut menyembuhkan luka-luka sosial dan ketimpangan yang selama ini tersembunyi di balik eksotisme wisata.

Pulau yang cantik ini menanti lebih banyak orang yang mau bekerja dalam diam, dengan hati yang penuh kasih. Karena sesungguhnya, seperti yang disampaikan oleh para tokoh tersebut, keindahan sejati Sumba bukan terletak pada pasir putihnya atau padang savana yang luas, tetapi pada manusia-manusianya yang berjuang untuk hidup lebih layak dan bermartabat.

 

Tinggalkan Balasan