Oleh Agustinus B. Wuwur, S.Ag
Kepala Biro Pasolapos Sumba Barat
Berbicara tentang Pemilu sangat berkaitan erat dengan “ Momentum Pendidikan Politik Bagi Rakyat ”. Dan sesungguhnya seseorang yang terpanggil menjadi anggota partai tertentu atau menjadi calon legislatif (caleg) DPRD Kab/Kota,DPRD Provinsi,DPR RI, atau calon DPD , bahkan calon presiden/wakil presiden sekalipun bukan datang dari yang bersangkutan, melainkan dari RAKYAT, dari KEPENTINGAN UMUM, panggilan dari SALUS POPULI. SALUS POPULI adalah sesungguhnya hukum tertinggi, adalah SUPREMA LEX. Dan begitu panggilan itu menggema, tidak boleh ada seseorang pun yang boleh menolak, atau menepis, haram untuk mementahkannya karena suara rakyat adalah sesungguhnya suara TUHAN sendiri, FOX POPULI ( SUARA RAKYAT) adalah VOX DEI ( SUARA ALLAH).
Dalam konteks pembangunan, panggilan ini menjadi pengejawantahan iman seseorang, sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Dan panggilan ini menjadi lebih mendesak dan lebih menantang bilamana RAKYAT YANG MEMANGGIL tersebut adalah mereka yang KECIL, LEMAH, kaum TERTINDAS, orang PINGGIRAN, mereka yang tergusur, kaum yang TAK BERPUNYA, TERLUNTA-LUNTA, KAUM AKAR RUMPUT, kelompok PERIFERI dan MARGINAL.
Nah, suatu kontestan dengan demikian, kendati besarnya sebagai kekuatan politik, dan hebatnya selaku penentu kebijaksanaan di Republik ini, dia … itu sesungguhnya CUMA ALAT, untuk dipakai mengabdi kepada kepentingan umum itu ! Dalam artian ini, suatu partai tidak bersifat mutlak dan satu-satunya. Dari waktu ke waktu, batu ujian sekaligus filter penyaring bagi keabsahan semua kekuatan politik di negeri ini adalah sejauh mana mereka sungguh MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN UMUM. Makin jauh sebuah kekuatan politik dari kepentingan rakyat, makin ia keropos dari dalam, makin ia kehilangan legitimasi yang otentik dari rakyat.
Kita pun tidak tahu sejak kapan suara itu memanggil seseorang , yang pasti, itu adalah suara rakyat, suara kaum kecil, suara kaum di mana Allah selalu berpihak, bukan suara partai , karena ia kendati diandalkan dan kita butuhkan, ia cuma alat bukan tujuan ! Karena itu mari kita bicara secara lebih merangsang tentang kampanye PEMILU yang telah berlalu. Bagi kita, momentum kampanye pemilu seyogyanya harus menjadi MOMENTUM PENDIDIKAN POLITIK BAGI RAKYAT. Nilai tambah atau nilai lebih dari metodik-operasional kampanye harus diukur dari sejauh mana gegap gempita kampanye itu semakin membuka wawasan politik bagi rakyat.
Agar rakyat dengan senyum semringah dan hati yang merdeka datang ke TPS dan tahu memilih dengan tepat, karena pilihan yang sama dengan mempertaruhkan kepentingan dan keselamatannya demi keamanannya lahir batin, itulah nilai tambah atau nilai lebih sebuah kampanye. Yang kita cemaskan adalah jangan sampai (dan itu telah terjadi) kampanye terjebak menjadi ajang tuding menuding antara para kontestan dan terperosok menjadi PENGGIRINGAN RAKYAT untuk harus memilih ini dan bukan itu, “ sambil merampok hak dan kedaulatan dari hati nurani mereka ” .
Bermutu atau tidak bermutunya debat calon presiden -wakil presiden/dan kampanye para pihak yang telah berlalu itu , merangsang atau konyol. Hal itu memang terpulangkan pada metodik-operasional debat/kampanye yang dipamerkannya. Sungguh tidak mudah. Di titik inilah letak perbedaan antara kampanye dan indoktrinasi. Karena kampanye pada hakekatnya adalah sebuah aksi propaganda namun bukan kecap seorang penjual obat, itulah susahnya namun sekaligus di sinilah menjadi nyata bahwa KAMPANYE PADA HAKEKATNYA ADALAH SEBUAH SENI.
Bagaimana kata-kata diatur sehingga rakyat TERGIUR DAN BUKAN DITIPU. Bagaimana meramu bahan sehingga DAGANGAN KITA YANG AKHIRNYA LARIS sementara dagangan kontestan lain tidak diremehkan atau dilecehkan. Seninya kampanye atau debat terletak pada kemampuan seorang berkampanye atau berdebat untuk MEREBUT HATI RAKYAT TANPA MEMBODOH-BODOHI mereka. Bagaimana MEREBUT HATI-nya sekaligus MEMBUKA OTAK-nya… itulah seninya. Untuk itu perlu kita lihat bersama, bagaimana “ setting standar ” untuk debat dan kampanye yang telah dilaksanakan . Di sini sesungguhnya setiap partai harus tunduk pada aturan permainan yang sudah diatur dan ditentukan KPU/BAWASLU dengan berbagai perangkat aturan. Dan aturan permainan itu sudah terwakili dalam tekad menjadikan setiap Pemilu menjadi sungguh sebuah PEMILU yang berkualitas. Kualitas dalam hal prosedur menyangkut asas LUBER JURDIL ( Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ) dan kualitas dalam artian kualitas WAKIL RAKYAT yang dengannya PEMILU diadakan.
Dan bahwa undang-undang tersebut menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republlik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi (ketetapan dalam bertindak) dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien, bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurnya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Demokrasi yang sehat juga mewajibkan bahwa tidak cukup bila negara sudah memiliki semua lembaga dan sarana yang sah untuk proses demokrasi. Yang kita butuhkan adalah PERILAKU DEMOKRATIS dan bukan sekedar aparat atau lembaga. Dan bahwa sangatlah naif bilamana proses pencalonan seorang tokoh atau pejabat ditegaskan sebagai sudah demokratis hanya karena sudah melalui lembaga DPR atau lewat Pemilu bilamana perilaku demokratis tidak ditegakkan melainkan bahkan tergelincir menjadi penodongan, pemasungan kemerdekaan hati nurani rakyat.
Berbicara soal wakil rakyat yang dengannya Pemilu diadakan maka patutlah dipikirkan soal merekrut kader. Kita tidak suka dengan kader yang matang karena “ dikarbit ” alias “ kader jenggot ” yaitu yang tercantel dari atas. Biarkan kader tumbuh dari bawah, biarkan bergulat dia dengan seribu satu macam bantingan dan hadangan, dan terutama carilah kader yang berjuang tanpa pamrih yang tuntas berkomitmen terhadap nasib sesama warga terutama yang kecil dan tergusur.
Untuk itu perlulah dipikirkan secara matang, agar suatu kekuatan politik atau pun lembaga, entah apa pun namanya, bila mau lestari dan terutama survive di masa depan, tidak punya pilihan lain kecuali dengan menyiapkan generasi muda. Barang siapa memiliki kaum muda, ia memiliki masa depan. Masa depan dan proses regenerasi memang berupa proses alamiyah, tapi tidak berarti tidak bisa direkayasa (baca :dikonsepkan atau dirancang bangun). Dan itu hanya dengan medium kaum muda.
Sejarah membuktikan bahwa banyak perubahan dan pembaruan bermula dari kaum muda dengan standar yang terukur serta sesuai norma, tidak asal jadi. Kaum muda adalah agen pembaruan. Dan kita percaya bahwa di semesta Republik tercinta ini, kita menyadari kenyataan yang nyaris dahsyat ini. Kita yakin setiap partai juga arif mengkaji fenomena yang menentukan. Sejauh mana konsep operasionalisasinya dalam hal memberikan Pendidikan Politik Praktis Bagi Rakyat, bagi kaum muda untuk proyeksi masa depan (ini yang penting). Dan Pendidikan politik terbaik untuk generasi muda adalah PERILAKU POLITIK YANG BAIK ( “ POLITICAL BEHAVIOR ” ) dari para politisi.
Pemilu 2024 yang sudah dilaksanakan itu sungguh menjadi sebuah pesta demokrasi , rakyat datang menuju TPS dengan senyum semringah sambil berdandan, ibarat orang menuju pesta, usai menghirup kopi hangat Arabika sambil merokok , budi mantap karena pilihan, hati teduh karena merdeka…betapa manisnya, betapa strategisnya. Pemilu sudah terlaksana , masih ada tahapan berikutnya, tapi pekerjaanpun belumlah selesai. ***