Didukung oleh PASOLAPOS.COM
Oleh: Mario Fransisco Koa
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Krisis Ekologi Sebagai Fakta Yang Dihadapi Masyarakat Modern
Secara etimologis, ekologi merupakan penggabungan dari dua kata bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah atau tempat hidup dan logos yang berarti ilmu. Sehingga secara harfiah ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup. Kata ekologi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1866 oleh Ernst Haeckel, seorang ahli biologi Jerman. Ernst Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu komprehensif yang mempelajari hubungan antar-organisme dengan lingkungannya. Kemudian dalam perkembangan ilmu pengetahuan, ekologi mejadi suatu cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan juga dengan lingkungan sekitarnya. Penjelasan tentang apa itu ekologi tidak pernah terlepas dari kesadaran akan eksistensi komponen-komponen biotik dan abiotik serta esensialitas relasionalnya yang dikenal dengan ekosistem. Dari sini dapat muncul pertanyaan akan kedudukan manusia dalam ekologi. Dalam perspektif ekologis, hubungan manusia dengan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan. Relasi itu harus saling menguntungkan.
Dewasa ini, krisis ekologi merupakan tantangan global umat manusia yang banyak mendapat perhatian dan diperbicangkan sejak awal abad 21. Pemerintah dan masyarakat dunia, dimanapun berada, merasakan keprihatinan mendalam mengenai krisis lingkungan ini. Karena krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia; seperti udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, dan air yang kita minum.
Aneka bentuk kerusakan alam terus terjadi di berbagai tempat. Tidak sedikit bencana alam yang telah diberitakan oleh media-media, pula semakin sering masyarakat dunia diresahkan oleh berbagai penyakit dan virus mematikan yang mewabah. Salah satu fakta yang paling memiluhkan adalah munculnya virus Covid-19 yang mewabah sejak akhir tahun 2019 dan pada 11 Maret 2020 dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi global yang telah menyebabkan meninggalnya ribuan jiwa di berbagai negara. Tidak hanya sampai di situ, masyarakat duniapun masih tetap dan akan terus diresahkan dengan berbagai kemungkinan akan terjadinya perang dunia dengan menggunakan senjata nuklir dan sejata biologis yang dapat memusnahkan sebagian atau bahkan keseluruhan populasi kehidupan yang ada di bumi. Berdasarkan kenyataan yang ada, secara de fakto, ini merupakan suatu krisis kehidupan yang sementara di alami masyarakat modern.
Laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi “andil untama” dari segala bentuk kerusakan lingkungan hidup yang telah dan mungkin bisa terus terjadi (bersifat kontinu). Pada dasarnya, perkembangan IPTEK sebagaimana dimaksudkan untuk menunjang upaya pembangunan kesejahteraan hidup manusia adalah baik di dalam dirinya (bonum in se). Akan tetapi itu kemudian mengalami suatu pergeseran nilai yang sangat jauh menjadi buruk dalam perwujudannya (malum in actu) karena manusia menggunakannya secara tidak bertanggung jawab. Dapat dikatakan bahwa krisis ekologi yang dihadapi manusia dewasa ini adalah konsekuensi dari ketidak-konsistenan manusia dalam pengembangan IPTEK secara bertanggung jawab. Dengan demikian, krisis ekologi bukan lagi merupakan kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang, melainkan telah menjadi realitas kontemporer yang melebihi batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan.
Pentingnya Kecerdasan Ekologis Bagi Pembangunan Hidup Manusia
Pembangunan menyediakan berbagai pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat kesejahteraannya, yang sebagian besar melalui pengelolaan sumber daya alam, atau membentuk sumber daya buatan dengan sentuhan teknologi. Akan tetapi, segala bentuk pengelolaan sumber daya alam dan/atau pengembangan teknologi untuk pencapaian kesejahteraanya tidak boleh bersifat sepihak. Atau dengan kata lain, tidak boleh ada muatan egoisme dalam upaya-upaya pencapaian kesejahteraan manusia. Manusia perlu menghargai dan memandang mahluk hidup lain sebagai bagian dari komunitas hidupnya. Dalam komunitas ini, manusia berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan fisik membentuk suatu sistem ekologis yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terdapat unsur-unsur biotik dan lingkungan fisik (abiotik) dan membentuk fungsi sebagai sumber daya alam. Sumber daya alam memiliki fungsi ekologis dan fungsi ekonomi yang dikelola dan dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan mutlak manusia terhadap ekosistem atau lingkungan hidupnya.
Krisis ekologis selalu terpaut dengan persepsi manusia terhadap realitas alam. Pandangan ini membentuk perilaku manusia terhadap lingkungannya. Krisis atau terpeliharanya ekologi, sangat bergantung pada kapasitas intelektual manusia dalam membangun persepsi terhadap lingkungan hidupnya. Dan yang menjadi penegasan di sini bahwa kecerdasan atau kapasitas intelektual manusia secara kodrati selalu mengarahkan manusia kepada keberpihakannya terhadap lingkungan hidupnya yang bermuara pada keutuhan seluruh kompunen di dalamnya. Kita memiliki tanggung jawab terhadap alam dan mahluk hidup lain, dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang secara moral mengatur manusia bagaimana mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Manusia menjadi faktor yang berperan penting.
Menghadapi ancaman krisis global, kita perlu memelihara proses ekologis yang esensial sebagai bagian dari upaya keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Kita perlu berkomitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological intelligence), sebagai empati yang mendalam dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, serta berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Kecerdasan ekologis, berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur dan mahluk hidup lain. Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai kontrol terhadap lingkungan. Kecerdasan ekologis menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang dialaminya dan dipelajarinya tentang hubungan aktivitas manusia dengan ekosistem. Kehidupan manusia, dalam segala aspeknya, menjadi utuh bila dibangun dengan kecerdasan ekologis sebagai pondasinya. Dalam segala upaya pemenuhan kebutuhannya, baik yang bersifat primer (mencakup vitalitas kehidupan biologis manusia) maupun sekunder (mencakup hak untuk memperoleh rasa aman dan bahagia), manusia tidak boleh melihat alam sebagai pemenuh atas kebutuhannya semata, tetapi perlu memposisikan diri sebagai rekan kerja yang memiliki hubungan saling menguntungkan (bersimbiosis mutualisme). Maka dari itu, segala tindakan yang bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan hidup tidak mendapat ruang dalam wawasan pembangunan masyarakat yang berciri ekologis.
Ahimsa Sebagai Prinsip Moral Masyarakat Mencapai Kecerdasan Ekologis
Secara etimologis kata ahimsa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu bentukan dari urat kata “a” yang berarti tidak, tanpa (non), sedangkan “himsa” berarti membunuh, melukai, menyakiti atau melakukan tindakan kekerasan kepada semua makhluk hidup. Jadi ahimsa berarti tidak menyakiti, melukai, membunuh, bertindak keras, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Ahimsa merupakan bagian dari Hinduisme, Jainisme, dan Buddhisme, yang secara konseptual sudah dikenal masyarakat India sejak tahun 800 SM dalam kitab Hindu yang disebut Upanishad. Dalam ajaran agama Hindu, ahimsa termuat dalam Panca Yama Bratha (lima ajaran moral dasar untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin) sebagai salah satu pedoman penting untuk pengendalian diri, keinginan dan nafsu berlebihan (I Nyoman Yoga Segara, 2017:15). Term ahimsa sebagaimana terdapat dalam kitab Bhawadgita, Manu Smerti dan Sarasamuccaya mengandung pengertian sebagai larangan untuk tidak menyakiti makhluk apapun dan sekaligus mengandung ajakan untuk mengusahakan kesejahteraan semua makhluk hidup. Ahimsa dapat dimengerti sebagai ajaran kebenaran dalam Agama Hindu agar orang tidak melakukan tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan oleh karena hawa nafsu dan keegoisan manusia. Dengan demikian, Ahimsa merupakan suatu pemikiran yang berakar, tumbuh dan berpijak pada spritualitas.
Ahimsa adalah falsafah pantang terhadap kekerasan (nir kekerasan) yang Mahatma Gandhi kembangkan. Menurut Gandhi ajaran Ahimsa atau anti kekerasan adalah kekuatan paling ampuh yang tersedia bagi umat manusia. Syarat pertama bagi ahimsa adalah keadilan menyeluruh di setiap bidang kehidupan. Makna ahimsa menekankan pada penghindaran dan penolakan terhadap segala bentuk yang mengarah pada tindak kekerasan. Baik kekerasan dalam bentuk fisik maupun mental, dalam bentuk aktivitas verbal maupun non verbal. Ajaran ahimsa memandang bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki kesetaraan dan kesempatan yang sama dalam kehidupan dan penghidupan, asalkan kehidupan didasari oleh cinta kasih maka kehidupan yang penuh dengan toleransi dan kerukunan dapat menjiwai setiap sendi kehidupan.
Dalam kerangka ekologi, ahimsa memiliki makna yang sangat sentral sebagai pedoman atau prinsip moral kecerdasan ekologis yang perlu dihayati manusia. Dengan menjalankan ahimsa, manusia dimungkinkan untuk melihat lingkungan hidup sebagai sesama yang perlu dihargai karena memiliki kesempatan yang sama dalam kehidupan dan penghidupan. Manusia yang berwawasan ahimsa akan senantiasa memiliki keterarahan diri kepada keutuhan dan keharmonisan hidup seluruh komponen lingkungan hidup, baik itu alam biotik maupun abiotik. Pencapaian terbesar dalam hidup adalah saat mana hubungan antara manusia dengan lingkungan itu terjalin tanpa adanya siklus kekerasan di dalamnya (manusia mengeksploitasi alam, lalu alam membawa bencana yang dapat mencelakakan manusia). Ahimsa menjadi prinsip moral yang menyadarkan manusia akan hakikat dirinya sebagai satu bagian kecil dari keseluruhan entitas di dunia ini yang memiliki kedudukan yang setara sebagai ciptaan.
Kesimpulan
Kerusakan lingkungan hidup yang secara ilmiah disebut krisis ekologi ini dalam pandangan filosofat India pada dasarnya merupakan suatu refleksi atas krisisnya spiritualitas manusia modern yang telah menghilangkan Tuhan dalam hubungannya terhadap alam. Kesalahpahaman dan kegagalan manusia dalam memahami hakikat serta realitas alam menyebabkan sikap eksploitatif terhadapnya. Manusia telah mereduksi makna alam. Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai intrinsik dan spiritual kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Alam hanya dipandang sebagai obyek pemuas nafsu yang tidak berkesadaran, pelayan nafsu syahwat eksploitatif manusia. Sehingga alam telah menjadi layaknya pelacur yang dimanfaatkan tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya.
Krisis ekologi yang dihadapi masyarakat luas dewasa ini perlu disikapi secara kritis dan perlu ada pembenahan secara radikal atas segala kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Pembenahan secara radikal yang dimaksud yakni persepsi manusia terhadapat lingkungan hidup yang berwawasan ahimsa. Semangat ahimsa yang dihayati manusia menjadi tanda bahwa manusia telah memiliki tingkat kecerdasan ekologi yang matang.
Kecerdasan ekologis menempa manusia menjadi sebuah ekosistem yang menata emosi, pikiran, dan tindakan dalam menyikapi alam dan lingkungannya. Apa pun yang dapat kita lakukan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk meraih kualitas hidup, dan kehidupan itu sendiri sedianya adalah berpikir, bertindak dan berperilaku dengan pertimbangan ekologis. Maka dengan wawasan ahimsa, penanggulangan dan penyelesaian krisis ekologi yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Atau dapat dikatakan bahwa upaya manusia untuk mematahkan kontinuitas krisis ekologi modern diangkat dari kedudukannya sebagai suatu potensi (potentia) kepada pelaksanannya (actu) dengan ahimsa sebagai penggerak utamanya.