JAYAPURA,PASOLAPOS.COM – Ribuan manusia di dunia, Indonesia dan Papua adalah anti diskriminasi rasial dan kriminalisasi yang seweng-wenang dipraktekkan oleh negara terhadap aktivis, mahasiswa dan pada umumnya rakyat jelata di muka bumi manusia.
Karena itu, kali ini Yunus Mahasiswa Universitas Cenderawasih atau Uncen Jayapura kembali menegaskan agar menghentikan segala bentuk diskriminasi rasial dan kriminalisasi terhadap mahasiswa Indonesia dan tanah Papua.
Termasuk dua aktivis mahasiswa Uncen Jayapura Gerson Pigai dan Kamus Bayage yang tengah dikriminalisasi oleh Polresta Kota Jayapura, Papua.
Yunus kepada PASOLAPOS.COM Rabu (19/04/2023) depan Auditorium Uncen Abepura Jayapura menceritakan singkat kronologis awal aksi demonstrasi damai bulan Oktober 2022 lalu ditahan hingga menjalani persidangan dan diputuskan masa tahanannya.
Gerson dan Kamus hampir lima bulan setelah menjalani persidangan dan akhirnya pada Senin (17/04/) sempat diputuskan penambahan masa tahanan lagi selama lima bulan sepuluh hari sesudah lima bulan dalam penjara.
Kronologis singkat di mata Yunus
Polisi menjadikan (kambing hitam) untuk menutupi segala bentuk kebrutalan kepolisian saat membubarkan aksi demo damai Aliansi Mahasiswa Papua di kota Jayapura tolak KTT G20 di Bali bulan Oktober 2022 lalu.
Tujuan awal aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Papua tersebut adalah demo damai untuk menyampaikan aspirasi dan mengungkapkan kegelisaan hati ke kantor DPR Papua.
Rencana aksi demo bermartabat itu tiba-tiba berubah anarkis ulah kepolisian memblokade dan membungkam ruang demokrasi dengan penyerahan kekuatan personil Brimob dan Polisi berlebihan untuk turun pengamanan dan pengawasan aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua.
Ternyata alternatif polisi membubarkan massa aksi demonstrasi itu dengan gas air mata dan mengeluarkan tembakan serta penyiksaan terhadap aktivis mahasiswa dan peserta aksi demo oleh aparat kepolisian.
Jikalau polisi memfasilitasi atau mengijinkan aksi demontrasi mahasiswa tersebut ke kantor DPRP, maka tidak mungkin berujung ricuh.
Setelah pembubaran paksa, pemukulan dan penembakan itu dipraktekkan oleh polisi membuat masa terkocar-kacir.
Dari situ, spontan muncul pelemparan batu sasaran ke polisi seolah-olah mahasiswa adalah pelaku lemparan padahal pihak ke tiga yang dilakukan lempar-lemparan.
Gerson dan Kamus sendiri sebagai penanggung jawab aksi tersebut telah berada di depan saja tidak pernah terlibat dalam aksi pelemparan ke polisi sebagaimana yang dituduh pasal berkaitan penyerangan terhadap petugas negara dan pasal penghasutan.
Dari peristiwa tersebut terlihat jelas Gerson dan Kamus dikriminalisasi dan jadi korban (kambing hitam) oleh institusi kepolisian Polresta Jayapura.
Aksi pelemparan dan anarkis menurut pengamatan Yunus terlebih dahulu sudah dikondisikan atau diskenariokan, yang bermain lempar-lemparan adalah jelas pihak ke tiga yang tidak ingin aksi itu berjalan damai sampai ke tujuan awal yakni, kantor DPR Papua, tampak depan taman Imbi, Kota Jayapura.
Melihat dan mengamati skenario yang bermain oleh pihak ke tiga telah dipertontonkan langsung oleh alam dan manusia Papua.
Gerson dan Kamus tanpa kompromi secara bermartabat [menyerahkan diri] kepada pihak kepolisian, dalam hal ini mengantisipasi korban dan kericuhan.
Karena itulah, maka Pengadilan Negeri Jayapura dalam hal ini Majelis Hakim mengadili Gerson Pigai Dan Kamus Bayage divonis bebas karena mereka tidak bersalah. Tetapi justru nyatanya diputuskan penambahan masa tahanan selama lima bulan sepuluh hari.
Mereka menyadari dan memahami benar-benar akan aksi demonstrasi damai itu bahwa dijamin undang-undang Rebuplik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 28 dan konvenan Internasional hak sipil, hak politik, hak berkumpul, hak berserikat menyampaikan pendapat di muka umum.
Sebanarnya, demi penegakkan hukum yang adil dan keadilan terhadap Gerson dan Kamus sebagai korban kriminalisasi oleh penegak hukum sendiri mereka harus dibebaskan tanpa syarat.
Keadilan mesti diperjuangkan di sini. Ini negeri dan tanah air kita [Papua]. Lawan praktek ketidak-adil-an dan diskriminasi rasial dalam penegakkan hukum Indonesia di tanah Papua.
Reporter : Oto Dadigou Kayame