Opini  

Keluarga Sebagai Wadah Prososial Pembentukan Karakter Remaja Yang Berintegritas

Didukung Oleh PASOLAPOS.COM

Oleh : Ferani Natalia Antus

Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik Weetebula

 

Masa remaja adalah masa transisi, di mana seorang individu telah meninggalkan usia anak-anak yang lemah dan penuh ketergantungan (Hurlock 2003). Peralihan usia anak-anak menuju masa remaja ditandai dengan adanya otonomi pribadi, yang mana seorang mulai menggunakan secara penuh akal budinya untuk berpikir, mengambil keputusan dan bertindak. Pada tingkatan ini seorang remaja perlahan-lahan mempertanyakan keberadaannya dan menggali potensi dalam dirinya. Ia mulai lebih mandiri dan terlepas dari keluarga.

 

Meskipun peralihan ini merujuk pada pendewasaan dan kematangan pribadi baik secara bertahap, namun ada kemungkinan lain yang ekstrem di mana seseorang jatuh pada pilihan yang salah. Kekeliruan dalam cara berpikir dan bertindak dapat melahirkan berbagai fenomena negatif dalam masyarakat umum seperti adanya tindakan kekerasan, mencuri, berbohong, pembunuhan, tindakan kekerasan seksual, dan masih banyak lainnya yang mencirikan adanya degradasi karakter dan moralitas manusia. Kecenderungan seperti itu menjadi keprihatinan dalam peralihan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan karakter sejak dini. Pendidikan karakter tersebut juga mesti berkelanjutan sampai pada pembentukan integritas individu secara penuh.

 

Keluarga merupakan tempat pendidikan paling utama bagi remaja atau individu. Peranan orang tua juga sangat mendukung dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dengan cara memfasilitasi individu dalam. Keluarga juga disebut sebagai lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak dalam hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak (Kartini Kartono, 1992: 19).

 

Ki Hajar Dewantara seorang tokoh pendidik Indonesia berpendapat bahwa keluarga selalu mempengaruhi budi pekerti tiap-tiap manusia. Hal ini berarti keluarga menjadi tempat di mana remaja untuk “pulang”, tempat di mana remaja mengeluhkan segala unek-uneknya, mendapatkan motivasi serta dukungan dari keluarga, agar remaja tersebut bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Orang tua sangat menginginkan remaja dapat menjadi cerdas, intelektualnya di atas rata-rata, bahkan orang tua sangat mengharapkan anaknya mempunyai sikap moral yang baik. Keluarga menjadi wadah pembentukan karakter melalui pendidikan yang humanis, yang mana bertujuan untuk memanusiakan manusia.

 

Namun, de facto dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali keluarga yang tidak memperhatikan secara serius perkembangan pendidikan anaknya. Hal ini dipengaruhi oleh prioritas orang tuan dan perhatian yang lebih terhadap profesi yang tengah dijalankan. Oleh karena itu, terjadi krisis interaksi orang tua bersama dengan anak remajanya. Selain itu, pola pengasuhan yang salah sejak dini dan berbagai tekanan-tekanan mempengaruhi adanya krisis karakter dan moral.

 

Tekanan-tekanan yang diberikan orang tua kepada individu, agar individu mempunyai landasan (patokan) dalam melakukan suatu tindakan contohnya; gaya belajar, gaya pergaulannya, penampilan, dan masih banyak lagi. Dengan cara yang seperti ini, orang tua tidak mengetahui bahwa tekanan yang mereka berikan membuat remaja menjadi sangat tertekan dan tidak bebas dengan adanya keinginan tersebut. Di mana remaja, sangat dituntut untuk melakukan hal yang tidak sukainya hanya demi mengabulkan atau memenuhi persyaratan yang diberikan oleh orang tuanya. Melalui perilaku seperti, yang dapat mengakibatkan remaja bertindak di luar kontrol orang tua. Remaja sangat membutuhkan perhatian orang tua, kasih sayang, komunikasi, kebahagiaan saat berkumpul dengan orang tua di rumah.

 

Saat anak mendapat tekanan untuk hasil yang baik, terkadang anak akan melupakan proses yang dilaluinya. Kondisi seperti ini melanggengkan mentalitas instan yang mana anak memilih jalan pintas, sehingga membuat anak dapat berperilaku buruk dalam pencapaian yang baik. Di satu sisi tekanan yang diberikan orang tua itu memiliki tujuan positif. Akan tetapi, di sisi lain hal tersebut berpotensi negatif apabila orang tua sampai pada ekstrem tertentu “sangat” berharap terhadap pencapaian prestasi akademik anak. Pada umumnya hal ini melahirkan dampak buruk terhadap remaja baik secara batin maupun psikis remaja.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, anak memiliki kewajiban untuk mematuhi segala perintah orang tua. Namun dalam memenuhi keinginan orang tua, sering sekali anak merasa bahwa mereka selalu ada dalam tekanan dan ancaman.

 

Tekanan yang diberikan baik tekanan akademik maupun non akademik (Menurut Sujeta, 2019). Orang tua selalu menekankan agar anaknya mendapatkan juara 1 disekolah, tanpa disadari bahwa hal tersebut membuat remaja merasa tertekan dengan adanya tuntutan seperti ini. Selain itu, kadang orang tua selalu merendahkan kemampuan anaknya, tidak memberikan kepercayaan terhadap yang dilakukannya, bahkan orang tua kandang mencap anaknya “bodoh” atau “anak yang tidak berguna”. Ungkapan demikian cenderung menimbulkan kekecewaan dalam diri remaja. Ia merasa berada dalam posisi yang salah, bahkan ada yang sampai berpikir bahwa dirinya hanya sebagai alat yang bisa saja difungsikan untuk mengangkat nama baik keluarga, tanpa peduli terhadap disposisi batinnya sendiri.

 

Minimnya dukungan dari keluarga seperti memberi perhatian orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat menjadi pemicu perilaku buruk remaja. Dalam (Santrock, 2003) dijelaskan bahwa pengawasan orang tua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya perilaku buruk remaja.

 

Upaya mengatasi problem minimnya perhatian orang tua terhadap remaja adalah dengan cara kembali ke dalam keluarga itu sendiri. Artinya bahwa peningkatan kapasitas peran orang tua, membangun kesadaran dalam diri orang tua, dan intensitas pengawasan dan perhatian yang lebih terhadap seorang anak remaja dalam keluarga. Perubahan itu bergerak dari dalam, yang mana orang tua/keluarga memberikan perhatian khusus terhadap individu, mendengarkan apa yang menjadi keluh-kesahnya selama berada di bawah tekanan orang tua, memberikan sebuah keutuhan keluarga yang harmonis, dan juga mendukung remaja dalam keahliannya atau bidang yang diminati oleh individu.

 

Selain itu, keharmonisan keluarga merupakan tempat ternyaman remaja untuk pembentukan pribadi remaja. Keluarga yang harmonis, tenteram, aman, dan damai adalah surga bagi dirinya. Seorang remaja akan sangat bahagia baik secara jasmani maupun Rohani apabila dari keluarga sendiri, ia termotivasi untuk menjadi pribadi yang kuat secara mental dan berintegritas.

 

Orang tua juga dapat mengurangi pekerjaannya masing-masing demi sebuah keharmonisan keluarganya, berkomunikasi baik dengan anaknya, bisa memberikan kasih sayang yang penuh terhadap remaja yang selama ini kurang mendapat perhatian serta kasih sayang dan kelemah-lembutan dari kedua orang tuanya. Jika mau memiliki sebuah prestasi akademik maupun non-akademik yang baik terhadap anaknya, maka dukungan dan perhatian serta kasih sayang terhadap anak sangat dibutuhkan dan membantu dalam proses perkembangan anak.

Tinggalkan Balasan