KEDUDUKAN BELIMUT RAYAN SUKU WATUN DALAM RITUAL TUNU KWAR NUJA GA
Oleh: Yuniati Lalu
Mahasiswi Fakultas Keperawatan Universitas Air Langga
Orang-orang tidak terlebih dahulu menghadapi krisis dan kemudian mengembangkan simbol-simbol melalui tradisi budaya untuk menghadapinya. Seseorang harus percaya bahwa simbol itu mencerminkan dan menggambarkan sifat realitas yang menyeluruh dan permanen. Jadi kita juga percaya bahwa gaya hidup yang tersirat oleh simbol adalah satu-satunya cara yang benar untuk hidup. Untuk menanamkan dan memperkuat keyakinan seperti itu, setiap masyarakat adat mengembangkan ritual. Ritual adalah cara menampilkan simbol. Ini adalah cara berperilaku yang seharusnya mencerminkan sifat dunia dan cara hidup yang benar-benar nyata sehingga keduanya tak dapat dipishakan satu dengan yang lain. Ritual juga seharusnya menunjukkan bahwa komunitas dapat mengalami realitas dan pada akhirnya bahwa benar ini dalam perilaku kelompoknya. Seperti yang dikatakan Geertz, dalam ritual “dunia seperti yang dijalani dan dunia yang dibayangkan ternyata adalah dunia yang sama”.
Penulis mengambil salah satu tokoh utama yang mempunyai kedudukan dalam berbagai ritual dalam suku Watun, yakni Belimut Rayan yang artinya pemangku adat. Pemangku adat memiliki peran penting yang paling utama ketika menjalankan ritus yakni “Tunu Kwar Nuja Ga” yang merupakan salah satu ritus wajib setiap setahun sekali dan harus diikuti oleh warga suku terkait. Tunu Kwar Ga, terjemahan secara harafiah, Tunu artinya bakar, Kwar artinya Jagung, Nuja artinya muda, Ga artinya makan, yang biasa dikenal dengan ‘makan jagung muda’. Ritual Tunu Kwar Nuja Ga ini dimaksudkan untuk syukuran atas hasil panen yang baru. Tradisi ini harus dilaksanakan setiap tahun dari 8 suku besar di Desa Lerek. Berikut ini penulis akan menjelaskan prosesnya dalam tiga tahap dibawah ini.
Sosiokultur Anggota Suku Watun
Masyarakat tradisional khususnya anggota suku Watun pada umumnya memiliki berbagai macam kisah mitos. Mitos tentang terjadinya dunia, asal usul dirinya, mitos tentang kepercayaan, keyakinan dan pandangan hidupnya akan dunia yang dihuninya hingga kematian. Setiap anggota suku mengungkapkan dan melestarikan sistem nilai mereka secara turun temurun. Bagi mereka, mitos tidak sekedar dongeng melainkan menduduki posisi penting bagi hidup keseharian mereka dalam menjalani kehidupan. Merunut sistem kepercayaan sistem kepercayaan Lamholot pada umumnya yang juga dimani oleh anggota suku Watun terhadap wujud tertinggi, yakni “Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan”.
Dalam aspek sosial, ekonomi dan politik keanggotaan suku mempunyai peran penting yang sentral sebagai masyarakat kultus dan masyarakat solider. Setiap anggota salig dihubungkan oleh sederetan kewajiban, hak dan keharusan satu terhadap yang lain. Rasa kebersamaan setiap anggota suku ditandai dengan berbagai macam larangan atau pantangan yang diwajibkan kepada semua anggota suku. Kesadaran solidaritas ini terbentuk terutama diperhitungkan apabila terjadi perselisihan, kawin adat, ritual wajib tahunan dan sebagainya. Maka bersama pemangku adat atau belimut rayan, tetua suku, dukun dan anggota suku harus melakukan rekonsiliasi dan menjalankan ritus-ritus adat tertentu.
Setiap anggota suku Watun mengakui bahwa segala sesuatu yang terjadi diatas muka bumi karena ada Wujud Tertinggi. Berdasarkan proses pengenalan dan refleksi diri para leluhur sepanjang hidup yang menjelma dalam berbagai macam tata kehidupan yang dijalani. Hal ini terjadi karena tidak semua hal baik yang diterima anggota suku, tetapi juga menerima peristiwa-peristiwa malapetaka. Situasi baik dan buruk direfleksikan bahwa ada keterkaitan dengan Yang Transenden. Dengan demikian, posisi pemangku adat harus mampu untuk memperhatikan setiap perilaku setiap anggota suku yang diyakini bisa mendatangkan nasib baik atau buruk.
Tahap Pra-Liminal dari Ritus
Ritus Tunu Kwar Nuja Ga ini diadakan dari bulan April hingga Mei. Ritual ini wajib dilaksanakan setiap suku bertepatan dengan musim panen hasil kebun. Sebelum ritual tersebut diadakan harus ada ritaual ‘tar elor’ yakni upacara izin atau perjanjian pelaksanaan acara adat terlebih dahulu kepada para leluhur yang harus diikuti oleh dukun dan pemangku adat. Acara pemberitahuan tersebut diadakan di ‘Una Rajan’ artinya rumah besar (rumah adat). Upacara tar elor diasmpaikan oleh dukun yang sudah menjadi tanggung jawabnya dengan mantra “Ina Ama Tua Magu be Lew Golen, go durut tuak nere, go tedek gepar mio ina Ama be belimut Raya Lewo Golen. Mio meten, kingam dao denge matam dao hulut. Tea nere be kenamata raya no kam nenau untuk mio weolem, wula wik kam weolem huk anak tunu kwarga. Ke go durut tuak nere, go geperem Ina Ama Tua Magu. Ta no kleruk no malor nbe mio umen. Ta go tedekeng kewang nebe, pnua amet nere ke, tek toi hi tapeneg ro… tago tedekeng naro ke. Sesuai mio mer ta gena kam anak mujeng be Une Ore lodo, ke naro.” Sambil dukun mengucapkan mantra tar elor ia juga sedang meniriskan tuak pada batu keramat. Sebuah batu hitam ‘Nuba Nara’ sebagai altar tempat untuk menyampaikan semua izin dan pemberitahuan. Mantra tar elor ini bertujuan agar memohon doa restu Yang Ilahi dan semua leluhur agar semua persiapan dan prosesi ritual berjalan dengan baik tanpa ada kesalahan dan ritus yang terlupakan. Acara ini berlangsung selama dua hari dan semua anak suku harus tetap berada di rumah adat dan tidak boleh melakukan pekerjaan lain atau membuat pesta.
Pemangku adat menjadi orang pertama yang berperan dalam setiap acara adat dan ditemani wakil serta dukun. Upacara adat dipimpin langsung oleh pemangku adat. Anak laki-laki sulung harus menjadi pemangku adat dan diturunkan secara turun temurun. Suku lain tidak boleh mengambil hak atau kedudukan ini karena ini adalah tugas khusus secara turun temurun. Pemangku ada berfungsi membuka dan menutup acara adat dengan resmi. Misalnya ritual tunu kwar nuja ga, apabila dalam acara tersebut tidak dipimpin oleh pemangku adat maka harus menunggu pemangku adat tiba di rumah adat, barulah acara diberlangsungkan. Apabila tidak datang karena ada halangan misalnya tempat tinggal jauh dan membutuhkan waktu yang lama maka, dukun bertindak bukan sebagai pemangku adat tetapi ia memohon izin terlebih dahulu untuk acaranya karena pemangku adat masih dalam perjalanan.
Penundaan tidak boleh melewati waktu yang sudah ditentukan selama bulan April sampai Mei. Sedangkan dukun memiliki wewenang sebagai pembicara antara manusia dengan Yang Ilahi. Karena mereka meyakini bahwa dukun memiliki karisma khusus untuk berbicara menggunakan bahasa adat dan mampu melihat hal-hal yang tak kasat mata. Dukun juga sebagai tempat para leluhur menyampaikan sesuatu melalui mimpi ketika matahari hendak terbit.
Tahap Liminal dari Ritus
Sebelum melakukan ritual tunu kwar nuja ga setiap keluarga membawa hasil bumi seperti, jagung muda, padi, sayur mayur, tuak kelapa, sirih pinang, ikan, kelapa dan ayam. Ketika sedang dalam acara puncak pada malam hari untuk ritual tunu kwar nuja ga semua anak laki-laki dalam suku harus masuk dalam rumah adat. “Ama Lera Wulan lodo hau Ema Tanah Ekan gere haka. Tobo tukan Pae bawan. Ola di ehin kae. Here di wain kae. Gaong molo. Menu wahan Nein kame mekan. Dore menu urin” tujuan mantra ini adalah mengundang Yang Ilahi dan para leluhur untuk ikut hadir bersama dalam perjamuan dan menikmati terlebih dahulu hasil bumi. Dukun sambil memberikan sesajian untuk Yang Ilahi dan para leluhur. Ketika mantra sedang diucapkan oleh dukun kepada Yang Ilahi maka semua harus diam, tenang, dilarang batuk, dilarang bersin dan menghentikan seluruh pekerjaan sebagai tanda penghormatan kepada Yang Ilahi. Jika ada yang batuk atau bersin maka hal ini bisa sebagai tanda bahwa ada kesalahan yang dilakukan.
Tahap Post-Liminal dari Ritus
Setelah mantra selesai diucapkan barulah pemangku adat merupakan orang pertama yang makan jagung tersebut disertakan ikan putih (ikan thiau) dan minum segelas tuak. Setelah pemangku adat makan bagiannya atau porsinya, barulah semua anak laki-laki suku mengambil bagiannya masing-masing. Semua anak laki-laki harus menghabiskan jagung bakar dan ikan bakar sambil minum tuak. Acara makan bersama ini sebagai tanda persaudaraan yang erat dan dalam situasi yang gembira serta ucapan syukur. Jagung dan ikan bakar ini tidak diperkenankan untuk kaum hawa karena dikhususkan. Jika melanggar maka akan medapat malapetaka misalnya sakit perut, diare, badan lemas dan sebagainya. Untuk kaum wanita memliki tugas untuk memasak di dapur wanita. Jadi ada dua dapur yang dikhususkan untuk pria dan wanita. Jadi masing-masing makan dari hasil masakan sendiri. Setelah acara makan selesai, kemudian dilanjutkan keesokan harinya
Pada pagi hari dilanjutkan dengan ritual “bur karat” artinya berkat dari para leluhur. Ritual ini berfungsi untuk mereciki semua anak suku pria dan wanita dengan air kelapa muda oleh pemangku adat. Kemudian kunyahan sirih pinang dan kemiri oleh pemangku adat di beri tanda salib kepada setiap orang. Tanda akan diberikan kepada dahi anak laki-laki yang dimaknai sebagai keperkasaan, pemikir, pekerja keras, pencari nafkah. Sedangkan tanda akan diberikan pada leher setiap wanita yang dimaknai sebagai keibuan, mengurus dapur, melahirkan dan menjaga anak. Acara dilanjutkan dengan ritual ‘beur wei’ saling siram-siraman dengan air dingin antara satu sama lain. Kedua acara ini bertujuan untuk mendapat berkat, memperoleh rahmat suci dari yang ilahi. Selain itu acara siram-siraman ini adalah pembersihan diri dari dosa dan kesalahan dalam suasana kegembiraan.
Proses pewarisan tradisi ini berlangsung sudah sangat lama sebelum para leluhur mengenal agama Katolik. Sistem kepercayaan ini hadir berdasarkan pengalaman batin dan nyata. Menurut Bapak Lukas yang saya wawancarai, para leluhur melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka mulai dari kepribadian yakni, perasaan takut, sedih, gembira, sakit penyakit dan sebagainya. Kemudian mereka melihat alam sekitar yang memberi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pengalaman ini membawa mereka untuk berefleksi lebih dalam bahwa semua yang dilihat dan dirasakan memiliki pengada atau menciptakan. Refleksi ini juga menghantar mereka sampai pada bentuk-bentuk ucapan syukur melalui ritual dan memaksa setiap anggota suku untuk menjunjung tinggi hidup dalam tatanan moral yang keras. Tatanan moral yang keras ini seperti pantangan, puasa dan mati raga.
Nilai-nilai yang Diwariskan Dalam Ritual Tunu Kwar Nuja Ga
Ritual ini tidak hanya sebagai kewajiban semata, tetapi lebih dari itu memuat berbagai nilai-nilai yang memberi keharmonisan bagi setiap anggota suku, rasa solider yang semakin memperkuat kekerabatan antara sesama, para leluhur dan Yang Transenden.
Sikap Terhadap Yang Transenden dan Para Leluhur
Ketika ritual sedang berlangsung di rumah adat maka setiap anggota suku dilarang keras untuk melakukan pekerjaan rumah. Anggota suku harus meniggalkan pekerjaannya untuk turut serta dalam ritual tersebut. Nilai yang penulis lihat disini adalah setiap anggota suku terlibat aktif dalam adat, penghormatan kepada para leluhur dan Yang Ilahi menjaga dan melindungi satu dengan yang laiinya. Salah satu etika yang diwariskan adalah tidak menyebut nama Yang Ilahi secara sembarangan atau dengan volume suara yang keras entah berada dalam rumah adat maupun di mana saja. Karena diyakini Yang Ilahi mempunyai telinga yang mendengar dan Maha Tahu apa yang kita bicarakan atau apa yang kita lakukan. Bahkan niat baik jahat sudah diketahuinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu maka sikap manusia terhadap Yang Ilahi ini harus menjalankan tuntutan aturan yang sangat ketat.
Sikap Terhadap Alam Semesta
Tidak boleh membuka lahan perkebunan tanpa ijin atau tanpa diadakan ritual. Tidak boleh melakukan sesuatu (apapun itu) pada hutan-hutan yang dianggap sakral. “Pohon-pohon besar” yang diyakini mempunyai penghuni, tidak boleh ditebang. Jika dilanggar maka malapetaka akan datang pada saat itu juga misalnya sakit, meninggal, bencana alam dan sebagainya. Orang-orang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki roh-roh halus yang mejadi tempat tinggal mereka.
Sikap Terhadap Sesama
Individu Memiliki ikatan khusus dengan orang-orang yang sudah meninggal (para leluhur dan keluarga). Selalu ada kontak dengan yang ilahi melalui alam semesta dan juga dalam aspek kehidupan. Mereka meyakini bahwa adanya Surga. Maka selama di dunia ia harus menjalankan kehidupan dengan baik khususnya dengan sesame manusia supaya menikmati kebahagiaan disurga. Sebaliknya jika tidak dijalankan kehidupan dengan baik semasa hidupnya maka pada saati ia meninggal dunia rohnya dipercaya akan berada di suatu tempat yang cukup sengsara untuk membersihkan segala kesalahan.
Warga suku tidak akan mendapat malapetaka atau kutukan jika menjalankan aturan adat dengan baik. Setiap anak suku harus mentaati peraturan adat dan pantangan agar tidak mendapat sial. Hal ini sebagai tanda kesetiaan kepada Yang Ilahi. Kebaikan sejati dijadikan kriteria untuk mengenali Yang Ilahi itu hadir secara aktif dalam hidup manusia. Perstiwa keselamatan itu terjadi misalnya apabila hasil bumi yang berlimpah menandakan bahwa seluruh aspek kehidupan dijalankan dengan baik tanpa membuat kesalahan pada yang ilahi (alam). Ritual diadakan secara teratur tanpa ada kesalahan sedikitpun. Kehidupan semakin baik apabila selalu membuat ritual ucapan syukur dan terima kasih.
Pentingnya Nilai-nilai dan Tradisi
Ritual tunu kwar ga, mewariskan makna kekeluargaan serta relasi yang dekat antara manusia dan Yang Ilahi. Mereka meyakini bahwa segala bentuk kebaikan yang mereka alami selama hidup di dunia. Ritual ini memiliki makna sosial yakni hubungan kekeluargaan, ikatan kekeluargaan menjadi sebuah komunitas kokoh dan terus diperbaharui. Orang-orang mengalami kesucian eksistensi sebagai karya Yang Ilahi dan mengembalikan dimensi hidup yang sakral. Ada pembaharuan diri dan rekonsiliasi dari setiap orang kepada Yang Ilahi. Semua aturan dan pantangan ritual ini dijalankan dengan baik dan hati-hati sehingga tetap menjaga kesakralan. Namun sangat disayangkan, penulis melihat bahwa akhir-akhir ini banyak aturan yang dihilangkan sehingga keaslian dan kesakralan itu menjadi kendor. Ritual ini tetap dijalankan seperti biasanya tetapi hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh memaknai ritual ini.
Setiap ritual sangat penting dengan memperhatikan ritus-ritus yang dijalankan. Tuntutan-tuntutan yang telah diwariskan harus diperhatikan sehingga tidak mendatangkan malapetaka. Ketidakselamatan akan datang apabila manusia tidak menjalankan ritual atau apa yang dikehendaki oleh yang ilahi. Ketika terjadi malapetaka dan kehancuran maka setiap anggota harus bertanggung jawab untuk memulihkan kembali. Meskipun demikian hubungan ketidakselamatan selalu ada karena manusia melanggar aturan dan tidak memenuhi perjanjian dengan Yang Ilahi. Misalnya terlambat melaksanakan Ritual maka konsekuensinya secara tidak disadari malapetaka itu selalu datang menimpa kehidupan manusia.
Untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi maka harus ada ritual permintaan maaf dengan memberikan sesajian disertai mantra-mantra misalnya “O Ama Lera Wulan Tana Ekan! kam bele mojipem dir alhu, hanya untuk kame kesenengen lei bo, Une Moen bele Tane Ekan diro gut. Kame weolem orem muluren, han kame keniri ehak, Mo umei dere hen kam tule amet prate kam mere ampun ele mo dengen hen ake tule kame suseh bele tane ekan dere!” secara singkat artinya semoga Engkau mendengar doa permohonan maaf kami bahwa kami semua satu hati untuk memohon maaf sebesar-besarnya dan memohon tidak ada lagi bencana. Dengan demikian boleh terjadi lagi pelanggaran, jika tidak diindahkan maka bencana lebih buruk akan terjadi bahkan membawa orang sampai pada maut.
Relevansi dan Kontribusi
Ritual-ritual dari desa Lerek ini adalah tradisi wajib karena orang-orang suku Watun setempat meyakini sebelum mereka ada di dunia sudah ada yang menciptakan mereka terlebih dahulu. Maka seluruh kehidupan mereka sangat bergantung pada Yang Ilahi. Meskipun teknologi digitalisasi semakin menerobos masuk lebih dalam namun orang tetap melestarikan acara adat atau ritual dan tetap berusaha menjaga kesakralan itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia semakin berubah maka perlahan-lahan ada pergeseran nilai utama yang diwariskan oleh nenek moyang. Pergesaran nila-nilai itu seperti kesakralan, karena generasi muda yang berubah dan menganggap tradisi dan budaya bukan lagi menjadi tuntutan yang penting. Sebagian besar menganggap tradisi kita adalah kuno. Selain itu pelanggaran terhadap pantangan yang sering kali terjadi menyebabkan lunturnya nilai kesakralan. Efek pelanggaran ini menyebabkan terjadinya malapetaka.
Relevansi serta kontribusi ritus ini adalah mengembangkan pengalaman iman baik secara pribadi maupun sebagai pengalaman kolektif. Pengalaman ini dirayakan melalui ritus-ritus khusus dan simbol-simbol pengungkapan diri. Perilaku dan tindakan setiap hari sebagai cermin dan pegangan pada aturan-aturan sekaligus pengalaman spiritualitas yang berkelanjutan. Nilai-nilai inilah membawa orang pada sebuah keselamatan pada akhir hidupnya. Selain itu juga penulis melihat bahwa budaya dan agama berjalan beriringan sehingga membawa setiap anggota suku semakin menghayati kehidupan yang lebih teratur. Ritual-ritual yang dijalankan memberikan dampak positif pada nilai solidaritas antara para leluhur, manusia dan Yang Ilahi yang mendalam.