DOSA: MENGAMPUNI ATAU MENGHUKUM.

(Yesus sebagai model hakim yang ideal)
Artikel Rohani
Oleh Alexander Laja Kila
Mahasiswa semester IV Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang.

 

Hampir sebagian besar Negara di dunia memiliki hukum, dimana hukum itu ditetapkan atas kesepakatan bersama dengan tujuan untuk mengatur suatu kelompok masyarakat tertentu agar semakin aman, dami dan tentram demi terciptanya bonnum comune (kebaikan bersama). Terdapat begitu banyak pengelompokan hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya; hukum adat yang dikenal dalam dalam ruang lingkup masyarakat budaya tertentu, hukum agama (moral) yang dianut dalam ruang lingkup kehidupan religius manusia, hukum Negara (di Indonesia dikenal dengan hukum pidana dan perdata).

 

Pada prinsipnya hukum menjamin segala aktivitas dalam masyarakat terlaksana sesuai dengan struktur dan kerangka yang sudah ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi pelanggaran atas hukum, maka penghakiman akan jatuh kepada orang yang melakukan pelanggaran atas hukum tersebut yang disertai dengan hukuman. Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa penghakiman yang disertai dengan hukuman lahir sebagai akibat dari pelanggaran atas hukum yang berlaku. Bahwasanya hukuman tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya pelanggaran atas hukum.

Pada hakikatnya hukuman yang diberikan terhadapa orang yang melakukan tindakan immoral, harus adil. Sebab hukum itu sendiri adalah adil. Jika hukum itu dijalankan dengan tidak adil maka sebenarnya itu bukanlah sebuah hukum. Hukum seringkali dipandang sebagai hakim terbaik atas tindakan kejahatan manusia. Dengan adanya hukum semua masalah-masalah kriminalitas dapat teratasi. Salah satu tindakan melawan hukum (tindakan kriminalitas) yang diangkat dalam tulisan ini adalah perzinahan.

Perzinahan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mencerminkan pelecehan terhadap harkar dan martabat manusia serta melecehkan harga diri manusia.

Jika perzinahan merupakan sebuah kejahatan, keburukan dan tindakan yang melawan norma kehidupan atau perendahan harga diri dan martabat, maka hal ini adalah suatu kejahatan terhadap wanita yang melakukannya. Dalam tata kehidupan orang Yahudi, orang yang banyak kali dicap atau biang keladi dalam peristiwa semacam ini, bukan yang pertama-tama kaum laki-laki tetapi perempuan.

 

Sehingga sekali wanita berlangkah salah, jatuh dan tertangkap basah dalam suatu perilaku hidup yang keliruh, selanjutnya divonis dan dipersalahkan dalam pengadilan, mendapat hukuman yang lebih berat dari kaum laki-laki, yang sebenarnya tidak lebih buruk dari perempuan bahkan lebih banyak melakukan perzinahan dalam aneka bentuknya.

Berada dalam sebuah tatanan budaya yang paternalistis seperti di Israel, kapan pun wanita tetap berada dalam bayang-bayang kaum laki-laki, bayang-bayang hukum taurat yang bukannya menjadikan setiap orang menikmati alam kebebasan dan perlakuan yang sewajarnya tetapi justru menjadikan perempuan terpenjarah dan terasing di alam kebebasan. Maka tepatlah kalau perempuan sering di anggap kelas dua, tak punya pengaruh dalam pola kehidupan sosial dan religius, semuanya didominasi oleh mereka yaitu kaum lelaki yang menganggap diri suci dan saleh.

Akhirnya perempuan hidup dalam ketakutan, ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi. Dalam budaya Yahudi berzinah sering dimengerti sebagai hubungan intim yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang sudah berkeluarga atau yang belum berkeluarga tanpa mengikuti aturan hukum yang berlaku. Jelas perbuatan semacam ini dilarang oleh hukum. Orang yang melakukan ini, biasanya dikucilkan, dirajam dengan batu bahkan di hukum mati karena dianggap memperkosa hukum Allah dan menodai kehidupan bersama.

Sikap Yesus terhadap persoalan ini adalah Yesus tidak mudah terjebak dalam permainan orang Farisi dan Ahli Taurat yang sok suci dan saleh. Memang Yesus tahu bahwa perbuatan seperti itu tidak baik dan melanggar hukum tetapi di sini, Yesus lebih melihat siapakah manusia itu. Itu berarti bagi Yesus, manusia perlu mendapat prioritas keselamatan dan penebusan ketimbang hukum yang justru menjadikan orang tidak merasa terbebas.

Tindakan Yesus membungkuk dan menulis di tanah memmiliki makna yang dalam bahwa di satu pihak Yesus tidak mau ambil peduli terhadap masalah tersebut karena Yesus telah mengetahui intensi para ahli Taurat dan orang Farisi di balik peristiwa itu tetapi di lain pihak Yesus mau menegaskan seruan nabi Yeremia, 17:13: “semoga mereka yang memalingkan muka dari padadamu akan dituliskan di bumi karena mereka tolak sumber hidup”. Inilah mengapa Yesus mengatakan: Barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”. Yesus sebenarnya mau menegaskan bahwa siapa pun dia, apa pun statusnya, manusia tetaplah manusia berdosa yang membutuhkan pengampunan dan keselamatan dari Allah. Bukannya seperti wanita tadi sudah malu, hina dan tak berdaya dibuat tak berdaya lagi. Sikap Yesus terhadap perempuan yang kedapatan berbuat zinah ialah tidak menghukum, memvonis, merajam tetapi yang lebih dipikirkan Yesus ialah kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan, pembebasan manusia secara lahir batin. Kalau para pemimpin agama Yahudi memandang perempuan berzinah sebagai batu sandungan yang sungguh dibenci tetapi Yesus memandangnya dengan cinta dan belaskasihan.

Bagi kita, suatu hal yang patut kita refleksikan bahwa kita perlu menyadari dan mengakui, Yang pertama; bahwa semua kita adalah manusia berdosa, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menutup diri terhadap dosa kita sendiri dan lebih senang melihat dosa orang lain. Melihat dan menilai dosa sesama mengandaikan bahwa kita sendiri sudah mampu melihat diri kita sendiri. Kedua; Yesus bukan tipe pribadi penghukum, pendendam, yang mengingat-ingat kesalahn dan dosa kita.

 

Tetapi Ia adalah pribadi yang mencintai kita sekalipun kita sengaja atau tidak sengaja terjerumus dalam kesalahan dan dosa yang sama. Ketiga; Walaupun Yesus tidak menghukum tetapi Yesus menuntut setiap kita untuk bertobat dan bertobat. “Akupun tidak menghukum engkau, tetapi pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”.

Melalui sikap dan tindakan Yesus yang sudah dijelaskan secara sederhana dalam tulisan ini, dapat kita simpulkan bahwa kehadiran Yesus dalam kisah penghakiman terhadap wanita yang berbuat zinah menggambarkan diri-Nya sebagai model hakim yang ideal. Dikatakan ideal karena penghakiman yang dilakukan Yesus adalah penghakiman yang berujung pada pengampunan bukan penhakiman yang bersifat menghukum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penghakiman yang ideal adalah penghakiman yang mengampuni sekaligus adil.

Tinggalkan Balasan