Opini  

Antara Solidaritas dan Pelanggaran Protkes.

Oleh: Mario Venerial Umbu Zerri

Beberapa waktu lalu, NTT digemparkan dengan kedatangan Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo.

Foto Agus Suparto.

Kedatangan orang nomor satu Indonesia tersebut memiliki dua tujuan khusus dalam kaitannya dengan program kerjanya. Tujuannya ialah untuk meninjau lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi food estate di Desa Makata Keri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah yang menjadi program jangka panjang pemerintah untuk Provinsi NTT dan meresmikan Bendungan Napun Gete, Kabupaten Sikka, Maumere. Ironisnya, adanya niat baik Bapak Presiden Jokowi untuk memperhatikan perubahan dan kemajuan di Provinsi NTT, khususnya Kabupaten Sumba Tengah dan Sikka tersebut tak luput dari kecaman dan kritikan dari berbagai pihak.

Banyak pihak yang menilai kehadiran Bapak Presiden Jokowi tersebut telah menimbulkan kerumunan yang mengabaikan protokol kesehatan. Bahkan oleh Kurnia, anggota Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan, Bapak Presiden Jokowi dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan atau Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan yang dilakukan Presiden Jokowi pada Kamis, 25 Februari 2021. Namun, untunglah laporannya ditolak. Kelihatannya memang sangat miris. Ketika ada seorang pemimpin berhati mulia ingin memperhatikan kemajuan daerah yang berpotensi menjamin kesejahteraan pangan negara, namun selalu saja mendapat kecaman dan kritikan. Bukan hanya anggota Koalisi tersebut yang melaporkan Bapak Presiden, tetapi banyak pula oknum yang mengomentari kejadian tersebut lewat berbagai media sosial. Oknum-oknum tersebut mengkritik kejadian itu tanpa pertimbangan akal sehat.

Kenapa saya bilang tanpa pertimbangan akal sehat? Karena memang mereka hanya mengkritik apa yang menjadi akibat atau gejala dari kunjungan tersebut tanpa memperhatikan sebab yang rasional.

Pertama-tama perlu dibedakan antara tujuan kedatangan Bapak Presiden Jokowi dan akibat yang timbul tanpa dugaan dari kedatangan beliau di NTT. Bahwa kedatangannya menimbulkan kerumunan yang tidak mengindahkan protokol kesehatan merupakan persoalan lain dan di luar dari hal yang direncanakan. Beda halnya kalau kerumunan itu direncanakan atau diatur oleh pihak yang berwenang. Tetapi kerumunan tersebut adalah reaksi spontanitas masyarakat tanpa kendali. Tujuan Bapak Presiden jelas. Yang pertama meninjau lokasi food estate di Sumba kemudian meresmikan Bendungan Napun Gete di Maumere, bukan untuk menimbulkan kerumunan! Lagi pula, pemimpin mana yang mau rakyatnya berkerumun di tengah masa pandemi seperti ini? Beda halnya kalau tujuan beliau untuk menimbulkan kerumunan atau lain semacamnya yang dapat menimbulkan kerumunan. Atau mungkin ada yang bertanya kenapa harus pada saat seperti ini dilakukan kunjungan dan peresmian seperti itu? Apa pentingnya? Persoalan pangan memang merupakan hal paling utama yang diperhatikan oleh PBB dan juga Indonesia. Pangan merupakan kebutuhana dasar manusia untuk dapat bertahan hidup. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), fakta menunjukkan bahwa luas panen padi pada 2020 sebesar 10,66 juta hektar, mengalami penurunan sebanyak 20,61 ribu hektar atau 0,19 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 10,68 juta hektar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan lahan tambahan agar persediaan pangan terjamin, apalagi di masa pandemi seperti ini. Kemudian, berkaitan dnegan peresmian bendungan di Sikka juga merupakan kebijakan yang patut diacungi jempol. Fakta pun menunjukkan bahwa sejak Maret sampai Oktober 2020 di wilayah Sikka terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan warga kesulitan mendapat air bersih. Namun dengan adanya peresmian tersebut, Bendungan Napun Gete dapat memberikan suplai air baku sebanyak 214 liter per detik bagi dua per tiga penduduk Kabupaten Sikka atau sekitar 200.000 jiwa.

Perlu diingat bahwa penggunaan air menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup masyarakat NTT yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Maka dari itu, sekali lagi tujuan Bapak Presiden Jokowi ke NTT bukan untuk menimbulkan kerumunan! Ada tujuan khusus yang memang mengatasnamakan kepentingan warga sendiri, bukan untuk beliau. Adanya kerumunan yang merupakan akibat yang sama sekali tidak diatur bahkan tidak diharapkan pemerintah merupakan reaksi spontanitas warga Sumba dan Sikka karena rasa cinta terhadap Bapak Presiden. Hal ini dapat dilihat dari reaksi warga ketika melihat Bapak Presiden. Dan memang begitulah kebudayaan yang terpatri dalam kepribadian orang NTT yang tak dapat dipungkiri. Rasa cinta dan solidaritas di atas segala-galanya. Jadi, orang berhati baik dan berbudi luhur yang menginginkan kemajuan dan perubahan jangan selalu disalahkan dan dipojokkan tanpa alasan yang masuk akal. Apa lagi persoalannya berkaitan langsung dengan orang NTT yang budaya solidaritasnya sangat tinggi.

Tinggalkan Balasan