Albino dan Albinisme 

PASOLAPOS.COM – Oleh Agustinus B. Wuwur.

Hampir 100 % orang Sumba Asli mempunyai kulit berwarna “sawo matang”. Namun kita juga menjumpai segelintir orang dalam masyarakat asli di Pulau Sumba yang sejak lahir berkulit sangat putih, rambut dan buluh tubuhnya bervariasi dari putih sampai kemerah-merahan. Manik mata mereka biasanya tidak segelap mata orang Sumba lain. Orang dengan ciri khas seperti itu disebut “ Albino “, dalam bahasa Jawa dan Bali disebut “ bulai” atau “bulek”. Berikut ulasannya.
Sesuai dengan statistik dari bangsa-bangsa dan suku-suku lain, kita dapat mengandaikan bahwa dalam masyarakat Sumba terdapat sekitar 350-400 orang albino. Itu berarti sekitar 1.500 warga terdapat rata-rata seorang albino. Tetapi angka itu bukanlah statistik yang menarik saja, melainkan menunjukkan adanya suatu masalah.

Kaum albino tidak mempunyai perlindungan alamiah terhadap sinar matahari, khususnya terhadap sinar ultraviolet. Sinar khusus yang tak kelihatan itu pada dasarnya menguntungkan manusia, tetapi menyakitkan dan merusak kulit dan mata seorang albino.

Karya Kolping Sumba ketika Pater Herman Y. May, CSsR (alm) sebagai preses, dan penulis sebagai Ketua Karya Kolping Sumba, belasan tahun yang lampau pernah coba menemukan dan memberikan semacam “ pertolongan pertama ” kendati dengan tenaga dan fasilitas yang sangat terbatas berupa informasi tentang kelainan dan kebutuhan kaum albino, sehingga mereka sendiri mengerti inti masalah mereka. Tulisan yang disajikan ini menjadi semacam salam pembukaan (ketika itu) , dan telah ada upaya mengundang kaum albino teman-teman senasib dan sepenanggungan untuk mendengarkan sosialisasi perihal kehidupan mereka. Agar jangan ada prasangka mengelirukan.

Orang bisa saja bertanya-tanya apa itu albino ? Secara singkat dapat diinformasikan : “ Albino” adalah manusia atau hewan atau tumbuh-tumbuhan yang kulitnya tidak mempunyai atau tidak sanggup memproduksi bahan warna (pigmen melamin), sehingga kulitnya sejak awal (lahir, tumbuh) nampak putih. Kata itu berasal dari Bahasa Latin albinus = putih. Kelainan kulit disebut “Albinisme”.

Albnisme merupakan suatu kelainan keturunan. Bisa jadi dalam generasi keluarga tidak ada seorang albino , bisa saja keluarga mungkin tidak ingat bahwa seorang nenek atau kakek pernah berwarna putih, dan baik bapak maupun mama dari seorang albino telah menurunkan albinisme kepada anaknya. Kelainan genetis (keturunan) pada manusia (dan hewan) itu membuat kulit dan mata si albino tidak terlindung melawan sinar matahari, secara khusus terhadap sinar ultraviolet.

Albinisme sebagai kelainan dan defek genesis itu terdapat di seluruh dunia, di semua suku dan bangsa. Pada umumnya para ahli menganggap bahwa di Afrika (daerah selatan dari khatulistiwa ) kurang lebih 4 % dari jumlah penduduk mempunyai defek genesis itu, sedangkan di masyarakat Eropa hanya 1,5 %. Belum ada statistik ilmiah tentang kelainan itu di Indonesia.

Sebagai alasan mengapa albinisme di Afrika (dan daerah tertentu di Indonesia) lebih sering muncul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dianggap kebiasaan sejak zaman kuno kawin-mawin antara keluarga dekat. Menurut “Hukum Mendel” (ahli genetik) dan pengalaman kita sendiri, bapak atau ibu albino bisa mendapat anak normal, dan bapak dan ibu normal bisa mendapat anak putih, sedangkan jarang terjadi seorang anak albino mempunyai bapak atau ibu albino.

Bilamana baik bapak maupun ibu mempunyai gen albinisme maka kemungkinan bahwa mereka mndapat anak albino 25 %, artinya rata-rata dari empat anak ada satu albino. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa sinar ultraviolet dari matahari nampak paling kuat waktu siang hari, khususnya di daerah tropis seperti Sumba. Selain itu orang Sumba pada umumnya bekerja beberapa jam setiap hari di ladang atau sawah terbuka.
Maka kaum albino khususnya di daerah tropis di mana pada umumnya masyarakat yang warna kulitnya coklat atau hitam kulitnya menjadi sangat peka (sensibel) terhadap sinar matahari dan secara khusus terhadap sinar ultra violet (yang tidak kelihatan). Bilamana kulit dan mata “diekspos” terhadap matahari (dibiarkan disinari bebas oleh matahari) maka akibatnya langsung nampak pada badannya, mengakibatkan : mata terasa sakit terus-menerus terpaksa ditutup. Mata menjadi lemah kelihatannya kabur sampai dapat buta total. Kemampuan untuk melihat juga di ruang tertutup sangat menurun, sehingga banyak anak albino sulit mengikuti pelajaran di sekolah.

Dampak lanjutannya adalah kulit sering terbakar (tergoreng) karena sinar matahari akibatnya muncullah pembakaran kulit derajat dua dengan : gelembung air, luka infeksi kecil atau luas (iritasi kulit), bekas luka, kudis, ruam (infeksi bintik-bintik). Perusakkan kulit pun terus-menerus oleh sinar matahari membuat kulit sialbino cepat nampak tua. Lalu bisa jadi juga akan muncullah pratanda penyakit kanker ( Melanose/Melasma=flek-flek hitam di kulit) dan akhirnya berkembanglah kanker kulit atau “Kanker Hitam” (Melanozytoblastom, disingkat Melanom), yang biasanya tidak ada obatnya lagi.

Pada ilmu kedokteran albinisme tidak dianggap sebagai penyakit. Seorang anak kecil yang lahir sebagai albino adalah anak sehat seperti anak-anak lain. Kulit putih bersih bagus. Memang seringkali sudah nampak pada anak albino suatu kelainan matanya yang namanya “ Nystagmus”, gerakkan matanya cepat dan tak sengaja yang biasanya tidak dapat dinormalkan namun di kemudian hari juga tidak terlalu mengganggu.
Apakah anak albino dengan kelainan kulit dan matanya itu menjadi manusia dewasa yang berbahagia dan berguna sangatlah tergantung pada pengertian dan perhatian orang tuanya sejak dini.

 

Kulit putih dan bersih seorang anak dan seorang dewasa albino adalah kulit yang paling sehat dan tetap sehat selama tetap putih dan bersih. Sangatlah keliru bilamana orang tua membawa bayi albino mereka ke pantai laut “ agar memperoleh warna kulit sedikit lebih bagus “. Yang diperoleh anak justru adalah rasa gatal terbakar dan menderita. Karena sinar ultraviolet akan menyerang kulitnya tanpa ampun.
Setiap orang tanpa kecuali mempunyai keutamaan dan kelemahan. Seorang albino mempunyai kelemahan kulit dan matanya. Bilamana ia sadar tentang kelemahan itu, ia bisa menyesuaikan kehidupannya dengan keadaan khusus itu. Maka ia bisa menjadi anggota DPR RI, maha guru, insinyur, dan profesi lainnya yang terampil. Tetapi ia sebaliknya tidak menjadi penjaga hewan atau tukang kebun atau buruh proyek pada proyek pengaspalan jalan ; dan semua pekerjaan di sawah atau ladang di langit terbuka tidaklah cocok untuk kulit seorang albino. *** (bersambung ke bagian2).

Tinggalkan Balasan